Lampung Selatan,- BeritaNatural.Net
RUU Cipta Kerja merupakan produk hukum yang dihasilkan dari metode omnibus law. Namun yang menjadi perdebatan ialah substansi RUU Cipta Kerja yang merupakan produk hukum sebagai hasil metode omnibus law. Omnibus law tersebut digadang sebagai penyederhanaan dalam peraturan juga dapat menjadi solusi terhadap penyelesaian masalah konkurensi norma dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.
Meskipun demikian, yang perlu diperhatikan adalah substansi pengaturannya, sebab hal yang banyak dipertentangkan selama ini adalah banyaknya kepentingan politik yang acap kali tidak sesuai dengan kepentingan rakyat sehingga terjadilah penolakan besar-besaran dalam beberapa rancangan undang-undangan yang ditawarkan oleh Pemerintah dan DPR.
Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) sebagai organisasi serikat buruh yang memperjuangkan kesejahteraan kaum buruh dengan tegas menolak RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang draftnya saat ini sudah resmi diserahkan pemerintah ke DPR RI. Penolakan ini diambil, setelah secara seksama mempelajari terkait RUU tersebut. Hukum ketenagakerjaan harus mengandung prinsip kepastian pekerjaan (job security), kepastian pendapatan (income security), dan kepastian jaminan sosial (social security). Namun sayangnya, di dalam RUU Cipta Kerja tidak tercermin adanya kepastian kerja, kepastian pendapatan, dan kepastian jaminan sosial tersebut.
“Semakin dalam, tidak adanya kepastian kerja tercermin dari outsourcing dan kerja kontrak yang tanpa batas, PHK bisa dilakukan dengan mudah, dan tenaga kerja asing (TKA) buruh kasar berpotensi bebas masuk ke Indonesia. Lalu, tidak adanya kepastian pendapatan terlihat dari hilangnya upah minimum kabupaten dan berkurangnya pesangon. Sementara itu, karena outsourcing dan kerja kontrak dibebaskan, maka buruh berpotensi tidak lagi mendapatkan jaminan sosial; seperti jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan dan yang lainnya,” kata M. Taat Badarudin (KC Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Lampung Selatan) melalui telepon selulernya, Sabtu (16/05/2020).
Selain itu, masih terdapat 9 (sembilan) hal lain yang menjadi dasar penolakan, meliputi; (1) potensi hilangnya upah minimum, (2) potensi hilangnya pesangon, (3) outsourcing di semua jenis pekerjaan, (4) karyawan kontrak tanpa batasan, (5) waktu kerja yang eksploitatif, (6) TKA buruh kasar berpotensi bebas masuk ke Indonesia, (7) potensi hilangnya jaminan sosial, (8) PHK menjadi semakin mudah, dan (9) hilangnya sanksi pidana untuk pengusaha.
Kemudian serikat pekerja tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Pertemuan – pertemuan tersebut sifatnya hanya berisi penjelasan pemerintah mengenai RUU Cipta Kerja, tetapi tidak memberi ruang bagi serikat pekerja untuk berpartisipasi didalamnya. Hingga saat ini, pengusaha cenderung tidak adil dengan para buruh, tidak mematuhi peraturan perundang – perundangan. Selain itu, di Lampung masih banyak yang memberikan upah dibawah upah minimum.
“Kehadiran FSPMI ingin mengembalikan kemurnian perjuangan buruh dalam rangka melindungi kesejahteraan buruh dengan cara mengedukasi, mengadvokasi, melakukan upaya pemberdayaan buruh secara ekonomi dalam program – program koperasi. Hal tersebut agar para buruh menjadi mitra yang sejajar di perusahaan dan profesional serta mampu memahami aturan sehingga hubungan kerja lebih harmonis,” tambahnya.
Saat ini pembahasan RUU Omnibus Law ditunda, namun target FSPMI bukan ditunda melainkan dibatalkan atau ditinjau kembali. Diharapkan adanya keterlibatan praktisi, akademisi dan masyarakat buruh dalam pembahasan RUU tersebut. Kemudian mengingat kondisi negara kita mengalami wabah pandemic Covid – 19 maka pemerintah agar lebih fokus untuk mengatasi pandemic Covid – 19 ini.
“Meskipun dalam masa wabah Covid – 19, FSPMI tetap melakukan upaya mengkritisi kebijakan – kebijakan pemerintah yang melanggar kesejahteraan buruh melalui Media Perdjoeangan yang merupakan pilar dari organisasi FSPMI dibawah tanggung jawab Bidang Informasi, Komunikasi, Media dan Propaganda DPP FSPMI,” Jelasnya. (*)