Jakarta,- (BN.Net) KPPU menyimpulkan bahwa tren penurunan harga crude palm oil (CPO) pada masa dan paska larangan ekspor CPO tidak diiringi oleh penurunan harga minyak goreng kemasan, dan bahkan berlawanan arah. KPPU juga menyimpulkan adanya ketimpangan penguasaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit secara nasional. Selasa (31/05/2022)
Ketimpangan ini berpotensi membawa permasalahan persaingan usaha terkait penguasaan lahan dan kontrol di sisi hilir produk. Kedua pernyataan ini dijelaskan KPPU dalam forum jurnalis yang dilaksanakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hari ini secara virtual di Kantor Pusat KPPU Jakarta.
Dalam forum yang bertemakan perkembangan harga dan investigasi minyak goreng serta permasalahan kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit tersebut, hadir beberapa petinggi KPPU, yakni Ketua KPPU Ukay Karyadi, Direktur Investigasi Gopprera Panggabean, Direktur Ekonomi Mulyawan Ranamanggala, Direktur Kebijakan Persaingan Marcellina Nuring, dan para Kepala Kantor Wilayah KPPU di seluruh Indonesia.
KPPU menjelaskan bahwa isu minyak goreng sudah dikaji sejak September 2021, di mana KPPU melihat ada sinyal kartel karena kenaikan harga dilakukan bersama-sama, meskipun memiliki sumber bahan baku yang berbeda. Adanya integrasi vertikal, struktur pasar oligopoli, dan tingkat konsentrasi pasar yang sudah pada posisi 50%, menjadi sinyal bagi KPPU untuk mengalihkan kajian ke proses investigasi per 27 Januari 2022.
KPPU juga menyampaikan saran dan pertimbangan pada Pemerintah di awal tahun, yang salah satu poinnya sejalan dengan apa yang dijalankan Pemerintah, yaitu agar Pemerintah memastikan keberadaan stok minyak goreng dari level produsen-distributor-agen-pedagang eceran (retail). Untuk itu diperlukan proses pelacakan (tracing) untuk tiap tahap jalur distribusi tersebut.
“Namun demikian KPPU merekomendasikan agar tidak hanya di industri minyak gorengnya saja yang dikawal, tapi juga dari produksi kelapa sawitnya. Ibaratnya sudah keruh di mata airnya, kita sibuk menjernihkan di muaranya,” jelas Ketua KPPU.
KPPU menilai perlu dilakukan audit di hulu, yaitu di sektor perkebunannya. Saat ini terdapat 70-an (tujuh puluhan) pelaku usaha minyak goreng. Namun jika dikerucutkan akan terfokus pada 8 (delapan) kelompok usaha besar. Pelaku usaha tersebut rata-rata memiliki perkebunan kelapa sawit sendiri sehingga menguasai dari hulu hingga hilir dalam industri minyak goreng. Untuk itu, KPPU menyambut baik upaya Pemerintah dalam melakukan penataan hingga ke hulu industri minyak goreng.
Dalam hal pemantauan harga minyak goreng, Direktur Ekonomi KPPU, Mulyawan Ranamenggala, menjelaskan harga minyak goreng sebelum adanya kebijakan larangan ekspor CPO ada dalam posisi yang stabil. Setelah Pemerintah mencabut larangan ekspor, minyak goreng curah mengalami penurunan harga sementara minyak goreng kemasan mengalami kenaikan. Meskipun harga di pasar masih belum sesuai dengan harga eceran tertinggi yang ditentukan Pemerintah. Posisi disparitas harga minyak goreng curah dan kemasan juga semakin melebar setelah pencabutan ekspor. KPPU akan terus memantau harga minyak goreng menyusul adanya kebijakan Pemerintah untuk mencabut subsidi minyak goreng curah hari ini.
Kesimpulan Direktur Ekonomi tersebut didukung oleh temuan para Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) KPPU. Secara keseluruhan mereka menyimpulkan bahwa harga minyak goreng di daerah sudah mengalami penurunan setelah dicabutnya kebijakan larangan ekspor CPO, khususnya pada minyak goreng curah. Namun harga tersebut masih di atas HET yang ditetapkan. Terdapat perilaku tying dan bundling di wilayah kerja KPPU Kanwil VII yang berdasarkan hasil penelusurannya, dilakukan oleh perusahaan retail atas permintaan distributor. Saat ini perilaku tersebut telah masuk ke tahapan penyelidikan oleh Kanwil VII.
Direktur Kebijakan Persaingan, Marcellina Nuring menyampaikan adanya ketimpangan dalam kepemilikan lahan perkebunan sawit di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN pada tahun 2019 yang menunjukan bahwa Indeks Gini ketimpangan tanah HGU berdasarkan analisis gini rasio adalah sebesar 0.77. Angka ini termasuk dalam kriteria ketimpangan distribusi pemilikan tanah yang tinggi. Selain itu dari data BPS dan Kementerian Pertanian Tahun 2019 yang diolah, dapat dilihat ketimpangan penguasaan lahan perkebunan sawit diantara pelaku usaha perkebunan. Jumlah pekebun rakyat mencapai 99,92% dari total pelaku usaha perkebunan sawit, tetapi hanya menguasai 41,35% lahan. Sementara jumlah Perusahaan Perkebunan Swasta hanya 0,07% dari total pelaku usaha perkebunan sawit, tetapi menguasai lahan seluas 54,42%. Angka ini masih di atas jumlah Perusahaan Perkebunan Negara yang berjumlah 0,01% dari total pelaku usaha perkebunan sawit, dengan penguasaan lahan sebesar 4,23%. Kemudian data BPS dan Kementan yang diolah juga memperlihatkan perkebunan swasta memiliki penguasaan lahan yang lebih besar dengan rata-rata luas lahan 4.247 hektar. Dengan melihat data tersebut, maka dapat diperkirakan kepemilikan lahan oleh sekelompok pelaku usaha akan menghasilkan angka ketimpangan yang lebih tinggi.
Sementara itu UU Agraria dan UU Perkebunan mengamanatkan pembatasan luasan lahan yang dapat dikuasai untuk melakukan usaha perkebunan. Pembatasan diatur dalam Permentan 98/2013 tentang Izin Usaha untuk perusahaan/kelompok /grup perusahaan, yakni untuk tanaman kelapa sawit dibatasi 100.000 hektar. Sementara PP No. 26 tahun 2021 tentang penyelenggaraan Bidang Pertanian mengatur pembatasan luas lahan Perkebunan berdasarkan izin usaha untuk 1 perusahaan perkebunan. Namun pada kenyataannya beberapa kelompok pelaku usaha perkebunan memiliki lahan lebih dari 100.000 ha. Kondisi ini perlu diperhatikan mengingat penguasaan lahan yang terlalu besar akan berpotensi membawa permasalahan persaingan usaha terkait kontrol di sisi hilir produk.
“Dari analisis yang dilakukan KPPU, diketahui bahwa ada 5 (lima) perusahaan besar penghasil minyak goreng di Indonesia, memiliki luasan lahan sawit terbesar dan melebihi ketentuan terkait Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit,” jelas Nuring.
Untuk itu, KPPU menilai pentingnya pengaturan pembatasan penguasaan lahan dalam kelompok pelaku usaha karena berpotensi membawa permasalahan persaingan usaha terkait penguasaan lahan dan kontrol di sisi hilir produk. KPPU juga melihat bahwa penguasaan lahan melalui pengambilalihan saham/aset menjadi salah satu strategi penguasan lahan. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya penerimaan 10 (sepuluh) notifikasi transaksi akuisisi ke KPPU pada tahun 2021 yang berkaitan dengan industri kelapa sawit. Enam notifikasi di antaranya adalah pengambilalihan saham oleh perusahaan asing (Malaysia) dan 4 notifikasi adalah pengambilalihan saham antar perusahaan lokal. Oleh karenanya, ke depan KPPU akan mempertimbangkan status penguasaan lahan berupa HGU/IUP dalam proses penilaian notifikasi merger dan akuisisi di sektor perkebunan.
Selain persoalan harga dan kepemilikan lahan, KPPU turut menyampaikan perkembangan investigasi perkara dugaan pelanggaran persaingan usaha pada industri minyak goreng. Direktur Investigasi Gopprera Panggabean menjelaskan bahwa proses penyelidikan masih berlangsung hingga 5 Juli mendatang, sebelum diputuskan apakah akan ditingkatkan statusnya pada proses persidangan atau tidak. Dalam proses, KPPU telah melakukan pemanggilan atas 41 (empat puluh satu) pihak, termasuk atas 8 (delapan) kelompok besar produsen minyak goreng. Dua puluh tujuh pihak telah memenuhi panggilan KPPU tersebut. Empat belas diantaranya merupakan produsen minyak goreng, yakni PT. Agro Makmur Raya, PT. Intibenua Perkasatama, PT. Mikie Oleo Nabati Industri, PT. Musim Mas, PT. Salim Ivomas Pratama, PT. Agrindo Indah Persada, PT. Multi Nabati Sulawesi, PT. Incasi Raya, PT. Selago Makmur Plantation, PT. Nagamas Palm Oil Lestari, PT. Nubika Jaya, PT. Pelita Agung Agriindustri, PT. Permata Hijau Sawit, dan PT Pacific Medan Industri. KPPU saat ini masih terus melakukan pemanggilan atas pelaku usaha lain dalam proses penyelidikannya.
Menutup forum jurnalis, Ketua KPPU menyampaikan agar masyarakat mendukung KPPU dalam penanganan isu ini karena sampai kapan pun industri minyak goreng tidak akan berubah apabila industri di hulunya tidak dilakukan penataan.
“Sebagai produsen terbesar sawit di dunia, seharusnya Indonesia bisa menjadi penentu harga pasar CPO di dunia. Harga minyak goreng naik karena harga internasional tinggi tidak bisa menjadi alasan yang diterima,” tutup Ketua KPPU. (*)