Bandar Lampung,- (BN.Net) Wakil Rektor II Bidang Umum dan Keuangan Universitas Lampung (Unila), Prof Rudy S.H., LL.M., LL.D hari ini resmi dikukuhkan menjadi guru besar bidang hukum di GSG Unila. Rabu (25/10).
Ia merupakan guru besar ke-111 Unila, dan guru besar ke-8 Fakultas Hukum Unila. Di usianya yang baru 42 tahun, saat ini ia menjadi guru besar termuda di kampus hijau tersebut.
Pengukuhannya berjalan hikmat dengan judul orasi ilmiah “Pembangunan Hukum Indonesia di Persimpangan Jalan : Refleksi 4 Abad Pembangunan Hukum di Nusantara.”
Sesekali diselingi isak tangis haru, Rudy pun berbagi pengalamannya sejak kecil hingga akhirnya bisa menjadi Wakil Rektor Unila. Rudy merupakan lulusan SDN 2 Sumur Batu Bandarlampung. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 2 Bandar Lampung SMAN 2 Bandar Lampung.
Selama bersekolah, Rudy memang sudah sering meraih juara di kelas dan jadi wakil provinsi Lampung di lomba cepat tepat (LCT) tingkat nasional.
Kemudian Rudy melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) melalui jalur undangan.
Ia memilih jurusan hukum tak terlepas dari profesi sang ayah yang merupakan seorang Jaksa. Sementara ibunya seorang guru.
“Jadi ini memang gabungan. Papa saya Jaksa, ibu saya Guru SD. Jadilah saya pendidik di bidang hukum. Dulu pernah mau jadi Jaksa juga tapi karena ada perjalanan batin yang tak bisa diungkapkan akhirnya saya memilih jadi pengajar,” ujar Rudy dalam pemaparannya.
Di masa perkuliahan, Rudy tetap meraih berbagai prestasi gemilang. Bahkan jadi lulusan terbaik Fakultas Hukum UI tahun 2003. Ia pun langsung menjadi dosen atau tenaga pendidik di Unila pada tahun yang sama.
“Dulu sebelum tahun 2005, dosen itu masih bisa lulusan S1. Jadi saya ikut tes PNS dosen tahun 2003 dan lulus. Jadi sudah 20 tahun mengabdi sebagai dosen Unila,” jelas Rudy.
Pria kelahiran Teluk Betung, 4 Januari 1981 ini melanjutkan study S2 serta S3 di Kobe University Jepang dan lulus pada tahun 2012 pada usia 30 tahun.
Di tahun 2012, Rudy menjadi Ketua Jurusan Hukum Tata Negara (HTN) Unila sampai dengan tahun 2016.
Selama periode itu Rudy juga menjadi Ketua Timsel KPU Provinsi Lampung tahun 2014 dan Bawaslu Provinsi Lampung tahun 2016.
Rudi lalu menjadi Ketua Lembaga Penelitian Unila tahun 2020 hingga akhirnya dipercaya menjadi Wakil Rektor II Unila.
Untuk mencapai gelar guru besar ini, ia mengaku banyak hal yang harus dilalui. Bahkan pernah mengalami penolakan dari Kementerian karena adanya perbedaan penafsiran jurnal.
“Dulu sempat ditolak sekali. Saat ini menurut reviewer itu tidak sesuai. Jadi ada penilaian dari Kementerian yang berbeda. Misalnya ada yang menilai bagus ada yang tidak. Ada yang menilai ini sesuai ada yang tidak. Jadi saya setahun prosesnya,” jelas dia.
“Tapi saya tenang, kalau ada revisi saya terima. Saya perbaiki lagi,” tambahnya.
Dengan capaian gelar guru besar yang kini diraihnya. Rudy pun berpesan kepada seluruh mahasiswa agar jangan takut untuk bermimpi. Selalu berupaya tingkatkan kemampuan dan kualitas diri.
Karena Tuhan tidak pernah membatasi kemampuan manusia untuk meraih sesuatu yang lebih baik. Justru pemikiran manusia itu sendiri yang seringkali membatasi potensinya untuk berkembang.
“Pencipta kita Allah itu tak pernah membatasi kita. Kemampuan kita tidak terbatas sebetulnya, cuma kita aja kadang yang berpikir tidak mampu. Minset seperti itu yang harus dihilangkan,” jelasnya.
“Jadi mahasiswa harus bisa bekerja keras mencapai cita-citanya. Bahkan sampai sekolah jauh ke luar negeri. Mahasiswa harus lebih berani dan PD untuk menembus apa yang kita cita-citakan,” rinci dia.
Rudy menjelaskan alasan memilih judul orasi ilmiah tentang refleksi empat abad pembangunan hukum di Nusantara.
Menurutnya, sistem hukum di Indonesia seperti Kitab Hukum Undang-Undang Pidana serta Kitab Hukum Undang-Undang Perdata merupakan warisan dari era penjajahan Belanda.
Akibatnya Indonesia tidak memiliki sistem hukum sendiri yang merupakan produk sendiri yang dapat mengakomodir hal-hal bersifat adat dan budaya.
Hukum adat yang tidak masuk dalam tata hukum tertulis di Indonesia. Padahal system hukuk yang berasal dari luar negeri belum tentu sesuai dengan kondisi sosial dan budaya di Indonesia.
Sejak kemerdekaan juga hukum kita transplantasi. Jadi hukum adat kita menjadi hilang. Terlebih lagi sekarang ini zaman globalisasi begitu mudah mengambil hukum dari barat ke Indonesia, jelasnya.
Ia menconthokan salah satu produk hukum yang mengadopsi hukum barat adalah sistem sertifikat tanah. Kepemilikan tanah hanya diakui oleh negara apabila memiliki sertifikat. Akibatnya banyak tanah ulayat atau tanah adat yang tidak diakui oleh negara.
Coba kita lihat tanah ulayat kita tidak di akui, kita mengadopsi hukum barat dengan sertifikat. Padahal kita punya aturan yang berbeda dan aturan itu hilang, katanya.
Hal itu juga terlihat dalam pembentukan undang-undang cipta kerja katanya, kekacauan terjadi karena berbagai aturan dijadikan satu dengan nama undang-undang omnibus law.
“Undang-undang cipta kerja itu mengacaukan legislasi yang menggabungkan berbagai macam aturan sehingga kita bingung bacanya,” ungkapnya.
Rudy menilai, pada masa yang akan datang akan sulit membentuk hukum orginal dari Indonesia. Hal itu bukan tanpa sebab, kemajuan globalisasi mempermudah akses informasi dari luar untuk diterapkan di Indonesia. Hal itu disebut dengan konvergensi hukum.
“Dengan adanya konvergensi hukum itu, para pembuat aturan hukum akan sangat mudah membentuk aturan hukum tanpa melihat aspek sensitifnya,” pungkas Prof. Rudy. (**)