Memperkarakan Narasumber Sama Dengan Cawe-cawe Terhadap Kemerdekaan Pers!

Untuk melindungi kemerdekaan pers dari cawe-cawe atau intervensi, narasumber media (pers) bukan pihak yang dapat diperkarakan. Upaya (kekuasaan) memperkarakan narasumber merupakan perbuatan sia-sia. Itu pertanda yang bersangkutan belum paham aturan hukumnya.

Oleh: Rustam Fachri Mandayun
Memang bukan orang yang pertama, namun Menteri Investasi Indonesia Bahlil Lahadalia menjadi orang terbaru yang mengadukan narasumber media ke penegak hukum. Selasa lalu, 19 Maret 2024, Bahlil mendatangi Mabes Polri untuk mengadukan narasumber berita media Tempo, yang menulis tentang dugaan penyelewenangan pencabutan dan pemulihan ribuan izin usaha penambangan (IUP). Dilangsir dari indonesiana.id ,Kamis (21/03/2024)

Majalah Tempo, edisi 4-10 Maret menurunkan laporan utama berjudul Main Upeti Izin Tambang, serta menyiarkan siniar di Bocor Alus Politik (BAP) yang berjudul Dugaan Permainan Izin Tambang Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Bahlil melaporkan narasumber tersebut dengan pasal pencemaran nama baik.  (Baca di Tempo.co: Bahlil Laporkan Narasumber Tempo ke Polisi dalam Kisruh Pencabutan IUP )

Dalam Keputusan Bersama tersebut, implementasi terkait Pasal 27 ayat (3), yang berbunyi: ” Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan / atau pencemaran nama baik; Dalam Pedoman Implementasi, huruf (l), dinyatakan:

”Untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi Pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers sebagai lex specialis , bukan Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Untuk kasus terkait pers perlu melibatkan Dewan Pers. Tetapi jika wartawan secara pribadi mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet, maka tetap berlaku UU ITE termasuk Pasal 27 ayat (3).

Keyakinan bahwa melindungi narasumber merupakan bagian dari proses menjaga kemerdekaan pers dalam menjalankan salah satu fungsinya, fungsi kontrol, sudah lebih awal diserukan oleh Dewan Pers.

BACA JUGA:  Ajak Masyarakat Awasi Pelayanan Publik, Ombudsman Bentuk Program Masuk Desa.

Melalui   Seruan Dewan Pers Nomor :01 /S-DP/IX/2016 tentang Keberatan terhadap Pernyataan Narasumber, Dewan Pers di alenia akhir pernyataan, menyatakan: Untuk menghasilkan produk jurnalistik yang berkualitas, sesuai amanat UU.No. 40/1999 dan KEJ, media memerlukan narasumber. Dengan demikian, narasumber merupakan mata rantai dalam kerja jurnalistik. Menurut hukum pers, setiap pemberitaan menjadi tanggungjawab redaksi, sehingga keberatan atas pernyataan narasumber hendaknya ditujukan kepada penanggungjawab media bersangkutan sepanjang narasumber tersebut kompeten dan kredibel.

Pada saat yang sama, pers harus memegang teguh prinsip bahwa dalam keadaan aapun narasumber wajib dilindungi dan pers harus mengambilalih tanggungjawab itu, kecuali narasumber itu telah berbohong. Pernyataan ini dikeluarkan pada  2 September 2016.

Dengan demikian, dalam kerangka melindungi kemerdekaan pers dari cawe-cawe atau intervensi, maka narasumber media (pers) bukan pihak yang dapat diperkarakan. Maka upaya memperkarakan narsumber pers, merupakan perkara sia-sia. Petanda  belum paham aturan hukumnya.

Jika ada sengketa jurnalistik, adukan penanggungjawab persnya,  selesaikan melalui mekanisme Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sebagai lex specialis; datanglah ke Dewan Pers. (*)